Disusun Oleh: Harfian Ahdi Aula
A.
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Menurut Prof.
Moeljatno, S.H., Hukum Pidana adalah bagian
daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
CST. Kansil berpendapat Hukum
pidana sebagai hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan
suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana
itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya
mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma
hukum mengenai kepentingan umum.
Adapun
yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T Kansil adalah:
1. Badan peraturan perundangan
negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri,
undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
2. Kepentingan umum tiap manusia
yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.
Sementara Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan
hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi
yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
B.
SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA
1. Masa Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang
sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan
para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak
dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena
dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada
hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana
modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi.
Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur
tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal
unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda.
Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan
aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya,
undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah
berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi
perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh
agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan
hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari
konsep pidana islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang
menjadi bukti bahwa ajaran agam islam mempengaruhi praktik hukum pidana
tradisional pada masa itu.
2. Masa Penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai
lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali
kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah
kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan
Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang
kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.
Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis
menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini
perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala
peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan
peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh
pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia).
Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi
orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867.
Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.
3. Masa KUHP
1915 - Sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda
diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap
diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang
berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum
pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan
merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku
saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda).
Sudah menjadi konsekuensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan
turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan
peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan
sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis.
C.
PEMBAGIAN
HUKUM PIDANA INDONESIA
Hukum
pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:
1. Hukum Pidana
Objektif dan Subjektif
Hukum pidana
objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memili arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana
dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenale adalah
sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan keharusan
yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya.
Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya
hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan
negara :
1.Untuk menentukan larangan-larangan
dalam upaya mencapai ketertiban umum.
2.Untuk memberlakukan (sifat
memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si
pelanggar larangan tersebut, serta
3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang
telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi dari
segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental
yakni :
1. Hak untuk menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat
ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
2.Hak untuk menjalankan hukum pidana
dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana
yang telah dibentuk tadi, dan
3.Hak untuk menjalankan sanksi pidana
yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Walaupun
negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak
maka negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan
ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara.
Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil.
Juga
dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum,
pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan
ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan
pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan
negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah
ditetapkan dalam hukum pidan formil.
2. Hukum
Pidana Materiil dan Formil
Tentang
hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil akan dijelaskan
menurut pendapat ahli dibawah ini :
a) van HAMEL mengemukakan bahwa Hukum pidana
materiil itu
menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum
itu dengan hukuman, sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk
dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
b) Menurut van HATTUM, Hukum
pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan
yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan
tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang
bagai-mana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan
hukum pidana yang abstrak. Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur
tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah
hukum acara pidana.
3. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan dan Hukum Pidana yang Tidak Dikodifikasikan
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan
misalnya adalah: Kitab Undang undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
b. Hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP,
seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU
No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di
dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana Bagian Khusus
a. Hukum pidana bagian umum ini
memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang
mengatur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu
memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik
yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
5.
Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan
berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan
kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan
patuh terhadap hukum pidana umum.
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya
hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan
jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang-orang warga. penduduk
negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang
termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi
subjek hukum anggota TNI saja.
Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka
dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang
berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum
pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang
dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas
toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana
yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum
pemerintahah daerah tersebut
seperti PERDA
6.
Hukum Pidana
Tertulis dan Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang,
yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber
dari hukum yang diluar kodifikasi yang tersebar diberbagai peraturan
perundang-undangan.
Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah
hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas
legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat
dijalankan. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk
memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat
terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.
D.
TUJUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Tujuan hukum
pidana adalah untuk melindungi kepentingan individu atau HAM di masyarakat,
serta negara. Khusus di negara kita sudah seharusnya hukum pidana Indonesia
disusun dan dirumuskan sedemikian rupa agar semua kepentingan negara,
masyarakat, dan individu sebagai warga negara dapat diayomi dalam keseimbangan
yang serasi berdasarkan Pancasila. Dengan demikian tujuan hukum pidana
Indonesia pada hakikatnya yaitu mengayomi semua kepentingan secara serasi.
E.
FUNGSI HUKUM PIDANA INDONESIA
Sebagai
hukum publik hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang atau Memperkosanya
Kepentingan
hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai
segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota
suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak
dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk
terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
a)Kepentingan hukum perorangan
(individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),
kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan
hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa
susila, dsb.
b)Kepentingan hukum masyarakat
(sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap
keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
c)Kepentingan hukum negara
(staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum
terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Ketiga
kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh
kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri
(pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan
mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan
pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak
individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui
sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam
hukuman penjara maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman
penjara maksimum 15 tahun, dsb.
2) Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi
Dalam
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan
tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru
melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan,
misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sampai kepada
penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini,
yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan
pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya
dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di
dalam hukum acara pidana, agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan
sebaik-baiknya.
3)Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuasaan Negara dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi
Sebagaimana
diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah
memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan
sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi.
Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum
yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara
tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia.
Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara
umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat
itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan
formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi
pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila
terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara
dalam setiap melakukan tindakan hukum.
F.
RUANG
LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Hukum
Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat
agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban. Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini,
dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1) Batas
Waktu yaitu seperti yang
tercantum dalam Buku Pertama, Bab I Pasal 1
KUHP ayat 1 berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Serta Ayat 2 yang berbunyi “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya”.
2) Batas Tempat dan Orang yaitu seperti yang tercantum dalam Buku
Pertama, Bab I Pasal 2 sampai 9 KUHP:
a) Pasal 2 berbunyi “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”
b) Pasal 3 berbunyi “Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia”
c) Pasal 4 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1. salah satu kejahatan berdasarkan
pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
2. suatu kejahatan mengenai mata uang
atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai
meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
3.pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau
bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau
tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat
tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak
dipalsu; 4.salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan
air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan
pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang
kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
d) Pasal 5
1. Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
1. salah satu kejahatan tersebut dalam
Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai
kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana.
2. Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh
menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
e) Pasal 6 berbunyi “Berlakunya pasal
5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana
mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan,
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
f) Pasal 7 berbunyi “Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di
luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
bab XXVIII Buku Kedua Pasal 8 Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar
Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan BAb IX Buku ketiga; begitu
pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di
Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan”
g) Pasal 9 berbunyi “Diterapkannya
pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum internasional”
G. SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Sumber
hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat
untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Adapun sumber-sumber hukum pidana di
Indonesia itu antara lain sebagai berikut:
- Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = M.v.T yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
- Hukum Adat, yaitu Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
- Undang-Undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti:
·
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
·
Undang-undang Tindak Pidana
Terorisme (UU No. 15 tahun 2003)
·
Undang-undang Pidana Pencucian Uang
(UU No. 15 tahun 2002)
· Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi
(UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
· Undang-undang Narkotika dan
Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan
UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
H.
JENIS-JENIS
PIDANA
Menurut
Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun
pidana pokok itu antara lain sebagai berikut : a) Pidana mati, b) Pidana penjara, c) Pidana kurungan, d) Pidana denda. Sedangkan pidana
tambahan yaitu a) Pidana pencabutan hak-hak tertentu, b) Pidana perampasan barang-barang tertentu, dan c) Pidana pengumuman
putusan hakim
Selanjutnya
ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
Antara pidana pokok dan
tambahan tentu mempunyai beberapa
perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
- Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif, maksudnya apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
- Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok, maksudnya yaitu sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Walaupun
jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga pengecualiannya,
yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis
pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39 ayat
3 dan 40.
- Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).
Jenis pidana
pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie) tidak berlaku apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah
jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan
dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana
tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah berlaku sejak
putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Oleh karena itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana
pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak
sama.
Selain itu
juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara
kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan). Hal ini dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana
dijelaskan bahwa :
1. Dalam rumusan tindak pidana hanya
diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana
yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat
alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.
Prinsip
dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi
tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti
UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak
pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10
tahun 1998), dll
I. PENGERTIAN KRIMINOLOGI
Menurut W.A.
Bonger kriminologi adalah Ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Herman Manheim,
seorang Jerman berpendapat bahwa Kriminologi dalam
pengertian sempit adalah kajian tentang kejahatan sedangkan dalam pengertian luas juga termasuk di
dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa
dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan
cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan
kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut
hukum pidana. Sementara itu, Taft dan England merumuskan definisi
kriminologi sebagai berikut: “Istilah kriminologi
dipergunakan dalam pengertian secara umum dan pengertian khusus. Dalam
pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian (bukan ilmu yang lengkap) yang
memasukkan ke dalam ruang lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk
memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum,
termasuk penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat,
mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian sempit,
kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan
kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Apabila yang
terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku
kejahatan yang dewasa, penyelidikan kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan
pencegahan kejahatan”
J. RUANG LINGKUP
KRIMINOLOGI
Menurut Sutherland
kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, antara lain:
a) Etiologi kriminal, yaitu mencari secara
analisis ilmiah sebab-sebab daripada kejahatan
b) Penologi, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
sejarah lahirnya, berkembangnya hukuman, arti dan faedahnya
c) Sosiologi hukum, yaitu analisis ilmiah
terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana.
H. Bianchi
mengemukakan bahwa Kriminologi sebagai "metascience" dari pada Hukum Pidana,
yakni suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana
pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan
masalah-masalah yang terdapat dalam Hukum Pidana.
Bonger membagi
kriminologi menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi
murni mencakup: Antropologi kriminal, Sosiologi kriminal, Psikologi kriminal, Psikopatologi, dan Penologi.
Sedangkan kriminologi terapan mencakup: Hiegiene kriminal, Politik kriminal,
dan Kriminalistik.
K.
TUJUAN DAN OBJEK KAJIAN KRIMINOLOGI
Tujuan ilmu Kriminologi secara umum adalah untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek,
sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan
dengan lebih baik. Sedangkan tujuan ilmu Kriminologi
secara konkret yaitu antara lain untuk:
1. Bahan masukan pada pembuatan/pencabutan suatu
Undang-Undang
2. Bahan masukan bagi aparat penegak
hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan kejahatan non penal terutama
Polri.
3. Memberikan informasi kepada semua
instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya secara konsisten dan
konsekuen
untuk mencegah terjadinya kejahatan.
4. Memberikan informasi kepada
masyarakat yaitu pemukiman penduduk, tempat-tempat umum untuk membentuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadinya kejahatan.
5. Memberikan informasi kepada
perusahan-perusahaan agar melaksanakan
pengamatan internal secara ketat serta melaksanakan fungsi sosial dalam areal wilayah
perusahan yang mempunyai fungsi pengamanan eksternal untuk mencegah terjadi kejahatan.
Sedangkan objek kajian
kriminologi secara
umum antara lain:
a) Kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai
kejahatan. Kriteria suatu perbuatan yang dinamakan kejahatan tentunya
dipelajari dari peraturan perundangan-undangan pidana, yaitu norma-norma yang
didalamnya memuat perbuatan pidana.
b) Penjahat, yaitu orang yang melakukan kejahatan.
Studi terhadap pelaku atau penjahat ini terutama dilakukan oleh aliran
kriminologi positive dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan
kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positive menyandarkan
pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, dan perbedaan
tersebut ada pada aspek biologik, psikologis maupun sosio-kultural.
c)
Reaksi
masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat (pelaku), yaitu studi yang bertujuan untuk mempelajari pandangan serta
tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di
masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas,
akan tetapi undang-undang belum mengaturnya.
L. TEORI-TEORI KRIMINOLOGI
Teori-teori kriminologi ini dapat digunakan untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kajahatan atau penyebab
kejahatan. Teori-teori tersebut antara lain:
1) Teori Asosiasi
Deferensial, intinya yaitu pola perilaku jahat tidak
diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat
dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari
dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang
mendukung perbuatan jahat.
2)
Teori
Anomi
Pencetus teori ini yaitu Durkheim mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma
di dalam masyarakat. Keadaan tanpa norma tersebut kemudian
menimbulkan perilaku deviasi. Kata anomie telah sering digunakan untuk menggambarkan
masyarakat
yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama
mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan
yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan
kerja sama.
3) Teori konflik adalah teori yang
mempertanyakan hubungan antara kekuasaan dalam pembuatan undang-undang pidana
dengan kejahatan, terutama sebagai akibat tersebarnya dan banyaknya pola dari
perbuatan konflik serta fenomena masyarakat yang bersifat
plural. Teori
konflik menganggap bahwa orang-orang memiliki perbedaan tingkatan kekuasaan
dalam mempengaruhi pembuatan dan bekerjanya undang-undang. Mereka yang memiliki
tingkat kekuasaan yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih besar dalam
menunjuk perbuatan-perbuatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan
kepentingannya sebagai kejahatan. Menurut teori konflik, suatu masyarakat lebih
tepat bercirikan konflik daripada konsensus.
4)
Teori Subkultur
Teori Subkultur ini di bagi menjadi dua yaitu:
a)
teori delinquent subculture, yaitu teori yang dikemukakan
oleh A.K. Cohen yang dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perilaku delinkuen
lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah dan mereka lebih banyak
membentuk gang. Tingkah laku gang subkultur bersifat tidak berfaedah, dengki
dan jahat. Terdapat alasan yang rasional bagi delinkuen subkultur untuk mencuri
(selain mencari status kebersamaan) mencari kesenangan dengan menimbulkan
kegelisahan pada orang lain. Mereka juga mencoba untuk meremehkan nilai-nilai
kelas menengah.
b)
Teori differential opportunity, yaitu teori yang dikemukakan
oleh R.A. Cloward pada tahun 1959. Menurut Cloward tidak hanya terdapat
cara-cara yang sah dalam mencapai tujuan budaya tetapi terdapat pula
kesempatan-kesempatan yang tidak sah.Ada tiga bentuk subkultur delinkuen, yaitu a. criminal sub culture, b. conflict sub
culture, c. retreatis sub cukture. Ketiga bentuk sub kultur dilinkuen
tersebut tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan dalam gaya hidup diantara
anggotanya, tetapi juga karena adanya masalah-masalah yang berbeda bagi
kepentingan kontrol sosial dan pencegahannya. Dalam teorinya Cloward dan Ohlin
menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh
perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan hambatan-hambatan bagi
anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga
mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya untuk mencapai
aspirasinya.
5)
Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya
metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui
penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang
berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori label menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan
permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan
kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan
yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan
6)
Teori Control Social
Teori
kontrol sosial merupakan suatu teori yang berusaha menjawab mengapa orang
melakukan kejahatan. Teori kontrol ini mempertanyakan mengapa tidak
semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat terhadap hukum?. Teori kontrol sosial
memandang setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni. Oleh
karena itu setiap orang memiliki kebebasan memilih berbuat sesuatu. Apakah ia
akan berbuat menaati aturan yang berlaku ataukah melanggar aturan-aturan yang
berlaku. Tindakan yang dipilih itu didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang
telah dibentuk.
M.
PENGERTIAN DAN BENTUK KEJAHATAN
Kejahatan dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana yang berlaku di masyarakat.
Pada hakikatnya, suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang
yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan
masyarakat yang bersangkutan karena keberadaan suatu hukum di dalam masyarakat
merupakan pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan
bersama menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya hukum yang ada dalam masyarakat tersebut maka tentunya
perbuatan tersebut adalah jahat.
Kejahatan ini adakalanya juga disertai dengan kekerasan. Hal
itulah yang dimaksud dengan Kejahatan Kekerasan. Kejahatan kekerasan merujuk pada tingkah laku yang bertentangan dengan hukum yang berupa ancaman saja maupun sudah menjadi suatu
tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau
fisik atau menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Kejahatan ini sangat lazim terjadi di negara kita,
salah satunya yaitu Kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT).
KDRT menurut UU No. 23 Tahun
2004
adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kejahatan
dengan kekerasan dapat
dikategorikan dalam berbagai bentuk, Jamil Salmi seorang pakar kriminologi membagi
kekerasan titu dalam empat bentuk yaitu:
1.
Kekerasan
langsung (direct violence)
2. Kekerasan
tidak langsung (indirect violence), yang dikategorikan ke dalam:
a)
Kekerasan karena kelalaian
(violence by omission)
b)
Kekerasan perantara
(mediated violence).
3. Kekerasan represif
(repressive violence)
4. Kekerasan alienatif
(alienating violence).
N. PENGERTIAN PENJAHAT
Penjahat
adalah seseorang (atau sekelompok orang) yang melakukan perbuatan anti sosial
walaupun belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana
(kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan
pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan
dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudian dijatuhi hukuman.
O. PERSPEKTIF TEORI KRIMINOLOGI TENTANG
KEJAHATAN YANG DISERTAI DENGAN KEKERASAN
Romli Atmasasmita memandang ada tiga titik pandang
dalam melakukan analisis terhadap permasalahan kejahatan yaitu antara lain: macrotheories, microtheories, dan
bridging theories.
Hoefnagels dalam bukunya "The Other Side of
Criminology" mengungkapkan bahwa para ahli kriminologi pada umumnya sering
bertumpu pada teori kausa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan
sisi lain dari suatu kejahatan, yaitu aspek stigma dan serioueness yang
dipandang sebagai "other than offenders" yang memiliki peran yang
amat penting dalam menjelaskan kejahatan.
Menurut Romli Atmasasmita bahwa dalam menghadapi kejahatan dengan kekerasan
dan dengan mendasarkan pada konsep kejahatan menurut Hoefnagels dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
· Bahwa
perkembangan kejahatan dengan kekerasan di Indonesia dewasa ini masih dalam
tahap perkembangan awal, dan belum merupakan suatu "epidemi
kejahatan".
· Bahwa
kemungkinan terdapatnya aspek-aspek lain (selain aspek stigma dan seriousness)
yang terkandung dalam kejahatan dengan kekerasan yang terjadi di beberapa
tempat di Indonesia memerlukan pengamatan dan penelitian yang lebih mendalam.
P. REAKSI SOSIAL TERHADAP KEJAHATAN DAN PENJAHAT
1. Reaksi Represif dan Reaksi Preventif
1. Reaksi Represif dan Reaksi Preventif
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan
(penjahat), dilihat dari segi pencapaian tujuannya, dapat dibagi menjadi dua,
yakni reaksi yang bersifat (represif) dan reaksi yang bersifat (preventif).
Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya
dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. Secara singkat, pengertian
reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal)
yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah
terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan
kebenaran yang dijunjung tinggi.
Sementara itu yang dimaksud dengan reaksi atau tindak
(preventif) adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya
segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari
reaksi preventif ini.
Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
2.
Reaksi
Formal dan Reaksi Informal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang
diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum
pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk
melakukan reaksi tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian, adalah (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian, adalah (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Kejahatan jelas merupakan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga
terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Reaksi
terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya, dapat
dibagi menjadi dua yakni reaksi formal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan
reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh
warga masyarakat biasa melanggar peraturan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Dermawan, M.
Kemal. 2007. Teori Kriminologi. Jakarta: Universitas Terbuka
Ø Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Ø Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan
Sudarto
Ø http://www.ut.ac.id
baguuss..baguuss
BalasHapuskereeeen....
BalasHapus