Oleh: Moh.
Mahfud MD[2]
Pendahuluan
Tidak ada pakar, ahli atau pembicara
dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada
dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak
perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dua pasal dalam konstitusi menyoal
hal tersebut. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara
menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945
menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan
beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi
nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan
beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Dari sudut ini, kebebasan
beragama sudah absolutely clear.
Di Indonesia, pergeseran rezim otoritarian menuju demokrasi jelas
menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh
ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya.
Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui
mekanisme demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem
kebebasan beragama. Malah, Indonesia divonis sebagai pelaku
diskriminasi dalam beragama, khususnya terhadap agama minoritas. Secara kasat
mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam
agama resmi.[3]
Orang atau komunitas di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dirugikan,
termasuk kelompok adat yang masuk kategori tidak beragama.[4]
Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit
menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.[5]
Kasus
pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan. Di tengah arus
kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan beragama justru makin marak.
Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat
kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi bersenjata, penyerbuan massal,
intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama
hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang justru dianggap intoleran. Termasuk
juga kejadian Nashr
Hamid Abu Zayd, Guru Besar Universitas Leiden Belanda asal Mesir, yang dicekal
beberapa waktu lalu saat hendak berbicara di Riau dan Malang.[6]
Kenyataan-kenyataan
itu menguatkan incompatibilitas
jaminan konstitusi atas kebebasan beragama terhadap implementasi dalam
kehidupan bernegara. Bagaimana ini terjadi? Fenomena paling mengusik adalah
jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia menjadi tidak lebih
dari “teks mati” yang lemah dan sulit ditegakkan. Problematika itu ditengarai
terkait erat dengan bias tafsir atas pasal-pasal terkait dalam konstitusi.
Tafsir yang bias menyaru menjadi justifikasi bagi hampir seluruh peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama.[7]
Kondisi demikian pada gilirannya akan membuat konstitusi yang mestinya bersifat
legal-universal menyangkut kebebasan beragama, kian kentara rapuhnya. Menukil
ucapan Abbe de Sieyes, pakar konstitusi Prancis, konstitusi sebagai hukum tertinggi
berisi kewajiban-kewajiban untuk dipatuhi dan dilaksanakan, jika tidak ia tidak
akan berarti apapun. Kondisi konstitusi tanpa konstitusionalitas, akan dijumpai
dengan segenap eksesnya.
Menyoal kompleksitas masalah kebebasan beragama di Indonesia
umumnya akan masuk pada tiga ranah yakni masalah
negara, hukum dan masyarakat sipil.[8]
Demikian juga tulisan ini, berbicara pada ranah hukum dengan
substansi lebih pada eksplorasi perspektif konstitusi sebagai hukum tertinggi
negara. Penting mengawali pembahasan melalui penelaahan konsep yang diusung
oleh founding people[9]
dalam meletakkan prinsip kebebasan beragama melalui jelajah historis. Di
samping itu, eksplorasi dan elaborasi terhadap terkait prinsip kebebasan
beragama baik dari sudut filosofis, yuridis formal maupun kebijakan hukum
dilakukan untuk turut memunculkan berbagai pemikiran yang memungkinkan
terciptanya jaminan kebebasan agama dan berkeyakinan sebagaimana dikehendaki
konstitusi. Tentu saja, pemikiran yang muncul itu dijauhkan dari alur yang
tidak sejalan dengan filosofi ideologi, konstitusi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Jelajah
Historis
Merunut historisnya,
pembahasan mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi, diawali
setelah Rapat Besar BPUPKI[10] pada 11 Juli 1945 yang membentuk Panitia
Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, dan diketuai oleh Soekarno.[11] Sore harinya, Panitia Hukum Dasar
menyelenggarakan rapat membicarakan hal-hal pokok yang hendak dituangkan dalam
hukum dasar. Atas kebijakan Soekarno, dalam panitia itu dibentuk lagi Panitia
Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang bertugas menyusun rancangan, Panitia
kecil itu beranggotakan 6 orang antara lain Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis,
Soepomo, Soekiman dan Agus Salim. Atas usul Wongsonagoro, Soepomo ditunjuk
sebagai ketua. Panitia Kecil ini segera bekerja, dan hasilnya sudah diperoleh
dalam waktu tiga hari.
Dalam rancangan preambule yang telah dihasilkan sebelumnya oleh Panitia 9[12], ditegaskan bahwa kemerdekaan kebangsaan
Indonesia disusun ke dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pokok pikiran ke 5 rancangan preambule itu jelas menunjukkan
perhatian terhadap keistimewaan penduduk yang beragama Islam, karena memang
mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Tetapi kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”
sudah dimufakati secara bulat melalui kompromi golongan kebangsaan (nasionalis)
dan golongan agama yang ada Panitia 9. Dalam Panitia 9 ini, perbandingan
golongan nasionalis dengan golongan Islam sejumlah 5:4. Artinya mufakat telah
tercapai dengan sedemikian rupa. Sehingga kemudian, dalam menyusun hukum dasar
harus mengacu pada rancangan preambule
itu, dan tidak lagi perlu mengadakan perubahan-perubahan.
Atas dasar kompromi sebagaimana dalam
rancangan preambule, Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar, akhirnya secara bulat menerima rancangan hukum
dasar Pasal 28 soal agama yang bunyinya:
(1)
Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.[13]
(2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing.
Rancangan Pasal 28 ayat (2) mengundang
tanggapan anggota Abdul Fatah Hasan dengan mengatakan sebaiknya kata …”untuk memeluk agama lain” diganti dengan
kata “yang memeluk agama lain”, sementara
kata “dan” dihilangkan. Jadi bunyi
teks itu menjadi Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaan masing-masing.[14]
Menanggapi itu, Soepomo mengatakan kalau
usulan itu membuat makna ketentuan menjadi lebih jelas, Panitia tidak keberatan
untuk mengubahnya. Sempat terjadi perdebatan menanggapi usulan itu, ada yang
pro pada ketentuan awal, ada yang mendukung usul Abdul Fatah Hasan. Akan tetapi
kemudian mufakat tercapai setelah Soepomo memberi rumusan ayat (2) itu menjadi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya masing-masing. Bunyi ketentuan ini diterima secara bulat
oleh forum, untuk kemudian dibawa ke sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).[15]
Pada sidang pertama PPKI, 18 Agustus
1945, Soekarno selaku Ketua Panitia Hukum Dasar, membacakan rancangan UUD itu
pasal demi pasal, untuk dimintakan persetujuan forum.
Pasal-pasal lain mengalami
perubahan di sana
sini, sebelum dicapai mufakat. Sementara Pasal 29 yang dibacakan Soekarno dan
kemudian disetujui forum berbunyi, ayat (1) Negara
berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayannya itu. Ketentuan
Pasal 29 itu termasuk dalam Rancangan UUD hasil kerja BPUPKI yang setelah
dilakukan beberapa perubahan akhirnya disahkan sebagai undang-undang dasar
negara oleh PPKI pada hari itu juga[16]:
Berdasarkan jelajah historis, beberapa
kesimpulan dapat ditarik terkait konsep apa yang diusung founding people. Pertama,
pembahasan mengenai kebebasan beragama relatif lancar, artinya tidak dijumpai
perdebatan sengit berarti dalam soal substansi.[17] Hal ini menandakan bahwa, boleh jadi pada
saat itu telah terdapat kehendak kuat para perancang UUD untuk meletakkan dasar
kebebasan beragama di Indonesia.
Ada kesamaan
visi bahwa kebebasan beragama harus diakomodir dalam konstitusi yang sedang
mereka kerjakan, dengan mengingat kondisi bangsa yang memiliki latar antropologis dan kesadaran akan pluralisme atau
kebhinekaan. Pluralitas, kemajemukan dan
keberagaman terutama soal agama, disadari menjadi penyokong kelahiran sebuah
negara baru, Indonesia.
Kedua,
meskipun diliputi suasana kebatinan di tengah kenyataan bahwa Islam merupakan
agama mayoritas di Indonesia
tetapi kelompok-kelompok Islam tidak berkeinginan sedikitpun untuk mewujudkan
hukum yang eksklusif bagi orang Islam sendiri.[18]
Founding people justru mengusung
konsep yang jauh dari keinginan membatasi kemerdekaan penduduk untuk beragama
lain, selain Islam sehingga perlu memberi jaminan dalam konstitusi bagi
tiap-tiap penduduk untuk secara merdeka memeluk agama apapun dan beribadat
menurut agama serta kepercayaannya masing-masing.[19]
Ketiga,
frase ……untuk
memeluk agamanya dan kepercayaannya itu
menegaskan bahwa konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diusung
founding people mengandung konotasi
positif. Artinya, mereka menjamin warga negara untuk memeluk agama dan tidak
membuka peluang bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia. Ini jelas berbeda dengan
pemahaman Sir Alfred Denning mengenai konsep freedom of religion di AS, baik dalam arti positif maupun negatif.
Denning mengungkapkan bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah
atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama
Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama.[20]
Manifestasi Nilai Dasar
dalam Konstitusi
Hukum, termasuk juga konstitusi,
merupakan jalinan nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap baik dan buruk oleh manusia sebagai zoon politicon. Hukum sebagai jalinan nilai dikelompokkan ke dalam
nilai-nilai dasar yang sangat abstrak serta nilai-nilai yang lebih konkrit
sebagai pedoman bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat manusia. Nilai
dasar adalah asas yang diterima sebagai dalil yang bersifat mutlak sekaligus
diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia sebagai negara memiliki
keberagaman luar biasa, namun di balik keberagaman itu terdapat nilai-nilai
universal yang berlaku pada semua golongan atau kelompok. Saling menghormati,
tolong menolong, sopan santun adalah contoh nilai-nilai yang dianggap baik oleh
semua kalangan. Sebaliknya membunuh, mencaci, menganiaya, mencuri, memaksakan
kehendak adalah nilai-nilai yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang buruk
dan salah. Nilai-nilai
dasar umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat berupa nilai-nilai agama
(ketuhanan) dan nilai-nilai hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara.
Di Indonesia, nilai-nilai yang demikian
telah menjadi konsensus nasional dalam bentuk lima dasar yaitu Pancasila. Secara historis, Pancasila
yang ada dan berlaku merupakan hasil kompromi (modus vivendi) golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam
pada 22 Juni 1945. Pancasila itu sesungguhnya hasil karya Panitia Sembilan yang
berintikan ide dan dimotori Soekarno dengan hanya mengganti sila Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Andai saja pada 18 Agustus 1945, PPKI tidak mengubah
Mukaddimah UUD yang telah disahkan pada Sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945,
maka pemberlakuan syari’at Islam sebagai sumber hukum formal akan dilakukan
tanpa kesulitan.
Mukaddimah
UUD yang disahkan BPUPKI memuat Piagam Jakarta sebagai dasar negara yang sila
pertamanya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Namun, khusus menyangkut tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dibatalkan dan diubah oleh
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, sehingga sila pertama dasar negara berbunyi
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Pencoretan tujuh kata itu meski kontroversial tetapi
diterima sebagai blessing in disguised
(berkah terselubung) dalam merajut persatuan bangsa.[21]
Kompromi ini jelas menunjukkan kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara
kebangsaan yang religius dengan menjadikan ajaran agama (tidak hanya Islam)
sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila bukan lain merupakan jalinan
nilai-nilai dasar kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai
dasar yang tertuang dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam
aturan dasar (hukum dasar) dalam bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai
segi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, aturan, norma,
hukum dasar dalam UUD merupakan manifestasi yang secara substansi memuat dan
mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD
semata-mata berisi nilai-nilai sebagai perincian atas nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam Pancasila.
Nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum dasar
yang tercermin ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu
tidak semata-mata berdimensi teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan
dan agamanya masing-masing, melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya,
nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada
orang lain, sebab agama dan kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan
pribadi manusia dengan Tuhan sebagai Khaliq-nya.
Terkait kebebasan beragama, Pasal 28E
ayat (1) dan (2) UUD 1945[22] mencerminkan nilai dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam bentuk nilai yang lebih rinci yaitu kebebasan memeluk agama dan
menjalankan ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Di sini, beragama
dan segenap kemerdekaannya adalah hak setiap manusia. Hak itu merupakan
anugerah pemberian Tuhan dan melekat pada diri manusia semata-mata karena
dirinya sebagai manusia wajib menyembah Tuhannya. Hak kebebasan beragama dan berkepercayaan
merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non
derogable).
Namun
dalam implementasinya tentu tidak bisa seperti di Barat yang sekuler.
Implementasi hak asasi manusia di Indonesia
harus selaras dengan filosofi, budaya serta struktur kemasyarakatan Indonesia
yang notabene religius.[23]
Dalam
konteks filsafati, pemenuhan hak asasi itu harus selalu berdasarkan kepada asas
keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia. Hak asasi manusia akan terpenuhi
manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Dengan kata lain, tegaknya
hak asasi manusia ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan hak asasi dengan
kewajiban asasi, sekaligus sebagai penunjuk derajat moral dan martabat manusia.[24]
Nilai dasar itu diulang kembali dalam
bentuk lebih rinci pada Pasal 29 UUD 1945. Pasal itu menegaskan soal tugas
negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah dan kepercayaannya masing-masing warga negara dan penduduk Indonesia.
Dalam konteks negara Indonesia
yang mengakui posisi penting agama, perlindungan terhadap kebebasan beragama
harus dipadukan dengan perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini
berarti bahwa kebebasan beragama memang dijamin, tetapi kebebasan beragama
secara menyimpang tidak dapat dibenarkan. Tanggung jawab negara terhadap agama
tidak hanya sebatas memberi perlindungan
kebebasan beragama kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama
dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan atau penyimpangan.
Setiap
warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya
masing-masing. Ritual keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama segenap
elemen penganutnya harus turut mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam segala aspeknya, selain harus memperteguh persatuan dan
persaudaraan dan bukan malah memicu konflik.[25]
Ini sejalan dengan Nathan Lerner yang mengatakan bahwa salah satu hak dalam
kebebasan beragama menurut, ialah hak untuk mendirikan dan memelihara harmonisasi
individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan
kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.[26]
Lebih
lanjut, nilai dasar dalam pasal di atas harus dimaknai bahwa negara
menjamin dan mengatur hubungan antar umat beragama agar tidak mengganggu
kehidupan bernegara. Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia
tetapi yang lebih pasti, negara berhak pula untuk mewajibkan penganut agama
apapun itu, untuk bersatu membangun negara dan bangsa.[27]
Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam nilai dasar dalam konstitusi, tidak
sekedar berkutat pada persoalan apakah agama itu benar atau salah, melainkan
termaktub juga kesediaan untuk menghargai dan menerima keberadaan orang lain
yang berbeda keyakinan.
Aturan Hukum soal
Agama
Terkait
kebebasan beragama di Indonesia,
problem yang mendapat perhatian adalah pada banyaknya ketentuan
perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama.
Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip
kebebasan beragama maupun karena bertentangan antara dengan yang lain.
Karenanya, anakronisme perundang-undangan adalah masalah yang perlu segera
diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di
bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal, Padahal, bidang kebebasan
beragama, dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi
tersebut.
UU
No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama[28]
misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya
melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara melindungi
warga negara Indonesia
melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat
bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar
ajaran yang konvensional. Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan
semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk
intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu.
Telah
banyak gagasan yang muncul bahwa perihal agama atau penodaan agama tidak perlu
diatur oleh negara. Atau dengan kata lain negara tidak semestinya mencampuri
urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam
agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka
sebagai warga negara. Malah ada yang berkata kehidupan agama di Indonesia lebih baik bila tanpa
negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama
sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik. Adnan
Buyung Nasution dalam suatu diskusi pernah dengan bersemangat mengecam negara
yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, kata
Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan
pengakuan terhadap agama tertentu. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara
harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya
suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang
misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara.
Menurut pendukung gagasan ini ketentuan yang menunjukkan intervensi negara
terhadap sebagaimana UU No. 1/PNPS/1965 tidak lagi diperlukan. Kebebasan
berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak
dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
Namun demikian, yang perlu
dipikirkan apakah kondisi tidak adanya pengaturan dari negara lebih menjamin
kebebasan beragama itu? Atau bukan malah akan berimplikasi lebih parah? Sebab,
tanpa aturan dari negara, akibatnya bukan tidak mungkin tindak-tindak kekerasan
justru meruak. Sebab, sensitifitas seseorang terhadap agama sangat besar,
terutama ketika agamanya dikritik apalagi ‘dinodai’’. Tidak adanya aturan
justru akan membuka peluang lenturnya penafsiran tentang apa yang dikatakan
sebagai penodaan agama. Orang akan dengan mudah membuat aturan yang semata-mata
disandarkan pada subyektifitas dan menurut ajaran agama masing-masing, dengan
standar keyakinan yang tentu berbeda. Akan dengan mudah terjadi fenomena
‘menghukum’ mereka yang dianggap sesat dan atau tidak sesuai mainstream, dengan dalih ‘dan cara-cara
yang ‘diperintahkan agama.
Mengingat
kondisi itu, alternatif apa yang musti dipilih? Sepakat agar negara tetap
berperan mengatur dalam hal beragama dan keyakinan, termasuk melakukan
intervensi seperti selama ini atau setuju dengan pendapat yang mengecamnya?
Indonesia
adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan
beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat.
Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap
diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk
aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang telah
menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak
terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
Pertama,
hukum Indonesia
harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun
ideologis. Hukum-hukum di Indonesia
tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi
wilayah maupun ideologi. Kedua,
hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia
tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga
harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. Ketiga, membangun keadilan sosial.
Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan
terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap
yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah
tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu
dimenangkan oleh yang kuat. Keempat,
membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan
atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan
agama. Indonesia
bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara
sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat
mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi,
melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran
agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Dalam
menyusun aturan soal agama, kaidah pertama dan keempat di atas harus
diperhatikan, hukum Indonesia
harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa dan pada saat bersamaan membangun
toleransi beragama dan berkeadaban. Harus disadari, agama dalam arti keyakinan
merupakan wilayah privat sehingga negara tidak memiliki kewenangan untuk
mengaturnya. Sehingga, pengaturan terbatas pada bagaimana masing-masing orang
mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang
lain. Aturan hukum sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi dan
interelasi antar warga negara yang berbeda agama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Artinya, aturan hukum agama bukan dalam rangka
mengatur kegiatan dan kehidupan keagamaan secara individual dan internal
komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan keagamaan yang terkait
dengan pengalaman, sakralitas dan ritualitas menurut keyakinan masing-masing
agama. Tidak boleh misalnya negara membuat aturan hukum yang mewajibkan sesuatu
yang sudah diwajibkan oleh agama, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang sudah
jelas-jelas dilarang agama.
Agar
lebih menjamin terbentuknya hukum soal agama yang sesuai dengan kaidah-kaidah
Pancasila, terutama kaidah pertama dan keempat, maka prinsipnya negara boleh
membuat pengaturan maupun
pembatasan sekalipun terkait dengan kebebasan bertindak atau freedom to act,
tetapi tidak dalam soal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam
pengertian freedom to be. Pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama
semata-mata dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara,
bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan berpikir dan
berkeyakinan.
Selain itu, yang juga
penting, elaborasi terhadap makna kebebasan,
sebagaimana termuat dalam konstitusi perlu dilakukan. Tujuannya agar pemahaman
terhadap kebebasan beragama tidak sempit atau keliru. Mencapai pemahaman yang
benar akan menghindarkan diri dari peluang membuat aturan hukum yang justru
tidak sejalan dengan Indonesia
sebagai Negara Pancasila.
Rincian
mengenai kebebasan beragama telah sering dijumpai, salah satunya dalam kovenan
toleransi beragama PBB. Dalam kovenan itu, jenis-jenis kebebasan beragama
meliputi kebebasan memilih agama, kebebasan pindah agama, kebebasan
mendakwahkan agama tanpa paksaan dan manipulasi, kebebasan menikah beda agama,
kebebasan mendapatkan pendidikan agama yang berbeda dari agama sendiri,
kebebasan berorganisasi berdasarkan agama, dan kebebasan orang tua memberikan
pendidkian agama terhadap anak. Artinya, kebebasan beragama, menurut memiliki
batasan-batasan yang perlu diperhatikan meliputi keselamatan publik, ketertiban
umum, kesehatan, moral dan susila. Dan terpenting, kebebasan beragama tidak
boleh mengganggu hak orang lain.
Hal
itu sejalan dengan Nathan Lerner yang merinci kebebasan beragama mencakup hak
untuk beribadah dan berkumpul sehubungan dengan agama atau keyakinannya,
termasuk mendirikan dan memelihara tempat-tempat beribadah, untuk mendirikan
dan memelihara lembaga donor untuk kemanusiaan, untuk membuat atau menggunakan
tanda-tanda yaitu material yang dikaitkan dengan upacara keagamaan, untuk
menulis dan mempublikasikan dan melakukan deseminasi dengan publikasi relevan
di wilayahnya masing-masing, memberikan pendidikan dan pengajaran atas
anak-anak didik dan penganut, mengumpulkan atau menerima derma sebagai bantuan
keuangan, melatih atau memilih menjadi para penyebar agamanya masing-masing dan
memberlakukan hari libur untuk istirahat, dan hak untuk mendirikan dan
memelihara harmonisasi individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan
persoalan keagamaan dan kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.[29]
Dengan capaian pemahaman yang
elaboratif demikian, maka implementasi kebebasan beragama sebagaimana amanat
konstitusi tidak bergerak menjadi liar, unproporsional,
dan mengukuhkan politik identitas melainkan sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional. Sebab, jangan sampai pemaknaan yang tidak tepat
terhadap kebebasan beragama justru menjadi rongrongan bagi demokrasi, khususnya
demokrasi konstitusional yang dengan berpeluh-peluh terus diikhtiarkan di Indonesia.
*****
Bahan Bacaan
Ahmad Suaedy, et.al., Islam, konstitusi, dan Hak Asasi Manusia : Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Wahid Institute, Jakarta, 2009.
A Qodri
Azizy, Hukum Nasional, Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Teraju Mizan,
Bandung, 2004.
Eka
Damaputera, Pancasila: Identitas dan
Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
Jawahir
Thontowi, Hak Konstitusional Perda
Syariat Islam, Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan
Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama
Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII,
Yogvakarta.
Laporan
tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report) Tahun 2004, 2007 dan 2008,
yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008
yang dipublikasikan SETARA Institute.
Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara
dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di
Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan
Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres
Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di
Kampus UGM, Yogyakarta.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.
______________, Pengembangan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Makalah dalam
Seminar Nasional Formalisasi Syari’ah dalam Konteks Keindonesiaan: Tinjauan
Multi Disipliner, diselenggarakan dalam rangka Setengah Abad Universitas Islam
Bandung, Bandung, 28 Agustus 2008.
_______________, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah Pelengkap
atas naskah Keynote Speech pada
Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah
Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei 2009.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta,
2004
Siti
Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya
Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel
Borobudur Jakarta, 8 -11 Juli 2008.
[1] Makalah yang disampaikan dalam Konferensi
Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan
Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih,
yang diselenggarakan oleh Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang
Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[3] Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri.
[4] Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan,
komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat,
dan lain-lain, hanya karena keyakinan adat mereka berbeda dengan mainstream mayoritas, banyak mengalami
tekanan sosial maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak yang lahir tidak bisa memperoleh
akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak diberikan. Semua
itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan
mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses
pengurusan akte kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman..
[5] Laporan tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report)
Tahun 2004 yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Data dibuat
dalam dalam rentang 1 Juli 2003 sampai dengan 30 Juni 2004 itu menunjukkan Asia
mendominasi negara yang tingkat kebebasan beragamanya rendah. Laporan serupa di
tahun 2007 masih menyatakan bahwa pelanggaran dan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas di Indonesia
masih kerap terjadi dan aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan
itu menyebutkan beberapa faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan
pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Di antaranya kurang
tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah situasi tersebut.
Dalam beberapa kasus, pemerintah malah membiarkan atau mendiamkan saja
kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama..
[6] Nashr Hamid diundang ke
Indonesia atas kerjasama Universitas Leiden dan Departemen Agama, namun dicekal
ketika ia sudah sampai di Surabaya. Bagi Nashr Hamid peristiwa pencekalan ini
merupakan kali kedua harus berhadapan dengan kaum fundamentalis. Pertama, pada
1995 ketika Nashr dijatuhi hukuman murtad oleh pengadilan Mesir, dan harus hijrah
ke Belanda. Kedua di Indonesia, negeri yang oleh Nashr di sanjung-sanjung dalam
setiap seminar internasional karena masyarakatnya dikenal toleran dan moderat.
[7] Pada 2008, SETARA Institute mencatat 367 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan dalam 265 peristiwa, lihat Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dipublikasikan oleh SETARA Institute.
[8] Siti Musdah Mulia, Potret
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang
disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun
Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta,
8 -11 Juli 2008.
[9] Para pendiri negara biasanya disebut dengan founding fathers, namun agaknya sebutan itu kurang tepat karena
seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri, padahal dalam kenyataannya
anggota BPUPKI dan/atau PPKI ada juga kaum perempuannya sehingga sebutan founding people menjadi lebih obyektif.
[10] Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya kata Indonesia
semula tidak ada karena nama aslinya adalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan. Tetapi dalam berbagai studi dan pernyataan resmi penambahan kata Indonesia itu
diterima sehingga kemudian dikenal dengan nama BPUPKI. BPUPKI dibentuk oleh
Pemerintah Jepang di Indonesia pada 29 April 1945 (bukan 1 Maret 1945
sebagaimana banyak disebut dalam buku-buku sejarah) dengan tugas menyusun
rancangan UUD bagi Indonesia yang saat itu dijanjikan akan segera diberi
kemerdekaan.
[11] Selain itu dibentuk juga Panitia Pembelaan Tanah Air yang diketuai
Abikusno Tjokrosujoso, serta Panitia Keuangan dan Perekonomian yang diketuai
Moh. Hatta. Muhammad Yamin tidak termasuk dalam keanggotaan panitia apapun
meskipun sebelumnya sudah ada usulan agar Yamin masuk ke Panitia Hukum Dasar
mengingat Yamin paham soal hukum dasar. Oleh Radjiman Wedyodiningrat, Ketua
BPUPKI, Yamin malah ditunjuk masuk ke Panitia Keuangan dan Perekonomian, namun
Yamin menolak dengan alasan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pekerjaan
itu. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2004, hal. 292-293.
[12] Sidang Pleno BPUPKI 1 Juni 1945 ditutup dengan kesepakatan membentuk
Panitia 8 yang diketuai Soekarno dengan tugas menginventarisasi berbagai usul
yang muncul dan berkembang dalam sidang pleno itu. Namun kemudian Soekarno
membentuk Panitia 9 yang merupakan panitia tidak resmi ketika ada pertemuan 38
orang anggota Cuo Sabg in pada 18-21 Juni 1945 di Jakarta. Panitia 9 bekerja
untuk mencari rumusan kompromistis yang bisa diterima oleh semuanya secara
mufakat untuk disahkan pada pleno BPUPKI bulan Juli.
[13] Ini adalah bunyi Pasal 28 Rancangan UUD ketiga. Pada Rancangan
Undang-Undang Dasar Pertama, ketentuan ini diletakkan dalam Pasal 29, bunyinya Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agama
masing-masing. Pada Rancangan Kedua setelah diperbaiki oleh Panitia
Penghalus bahasa, ketentuan agama diletakkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2).
Ayat (1) berbunyi Negara berdasarkan atas
keTuhanan dengan menjalankan ibadah, ayat (2) menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
[14] RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang
…, Loc.Cit, hal. 415.
[15] Sama seperti BPUPKI, kata Indonesia dalam badan ini semula
tidak ada karena nama aslinya Panitia Persiapan Kemerdekaan. PPKI dibentuk pada
12 Agustus 1945 yakni pada saat Radjiman, Soekarno dan Hatta diterima oleh
Jenderal Terauchi Hisaichi di Saigon yang sekaligus melantik Soekarno sebagai
ketuanya. Adalah tidak tepat menyebut PPKI dibentuk pada 7 Agustus 1945. karena
hari itu hanya pemberian izin dari Pemerintahan Jepang di Tokyo untuk
mendirikan PPKI. Jika BPUPKI dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD, maka PPKI
dibentuk untuk mengesahkan dan memberlakukannya dengan hak melakukan
perubahan-perubahan sampai kesepakatan final tercapai. Selain itu PPKI dibentuk
untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan
dari negeri jajahan menjadi negara merdeka. Lhat R.M. AB. Kusuma, Lahirnya Undang…, hal. 13.
[16] Saat itu, yang disahkan PPKI adalah Pembukaan UUD
1945, Batang Tubuh (37 pasal), Aturan Peralihan (4 pasal), dan Aturan Tambahan
(2 butir angka), dan belum ada Penjelasan. Penjelasan, yang kelak dikenal
dengan penamaan Penjelasan UUD 1945, baru dimunculkan kurang lebih enam bulan
kemudian, dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15
Februari 1946.
[17] Perdebatan hanya soal redaksional agar ketentuan yang dicantumkan smooth dan tidak menimbulkan kesan
berbeda, sementara substansi sama yakni gagasan untuk mengakomodir kebebasan
beragama terhadap setiap warga negara, meskipun waktu umat Islam menjadi
mayoritas.
[18] Konstitusi Amerika misalnya,
menjamin kemerdekaan beragama karena pada waktu membuat konstitusi
terdapat aliran yang memaksa orang untuk memeluk agama yang dijalankan Raja
Inggris (Raja Stuart).
[19] Op.Cit., hal. 359.
[20] Contoh konkrit lainnya adalah Vietnam dimana kebebasan beragama,
termasuk untuk tidak beragama, telah diatur dalam Konstitusi 1959 dan
Konstitusi 1992. Salah satu pasal Konstitusi 1992 yang masih berlaku sampai
saat ini menyatakan,bahwa setiap warganegara memiliki hak untuk bebas beragama
baik menjadi pengikut agama maupun tidak menjadi pengikut agama.
[21] Ketika menjadi Menteri Agama pada 1980-an, Alamsyah Ratuprawiranegara
sering mengatakan bahwa Pancasila merupakan hadiah dari umat Islam karena
dilahirkan dari pengorbanan umat Islam untuk menghapus Piagam Jakarta, dan
kerelaan untuk tidak memaksakan berdirinya Negara Islam meskipun umat Islam
adalah mayoritas.
[22] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) menyatakan setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
[23] Penyesuaian konsep dan praktek hak asasi manusia ini sebenarnya sudah
tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yakni setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
[24] Mohammad Noor Syam, Sistem
Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi
1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres Pancasila yang diselenggarakan
UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.
[25] Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia
adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif
Pancasila, Makalah untuk “Kongres
Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
[26] Sebagaimana dikutip Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional Perda Syariat Islam, Makalah yang disampaikan
dalam Diskusi Panel "Pro dan Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan
oleh Fakultas Ilmu Agama Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus
2006 di Kampus FIAI UII, Yogvakarta.
[27] Jika dicermati, hal ini pernah ditegaskan Soekarno saat menyampaikan pidatonya di hadapan
anggota BPUPKI pada 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka atau ideologi
bangsa Indonesia, terutama saat mengemukakan dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
[28] UU Nomor
1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah
bentuk perundang-undangan sebagaimana
diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadi-jadian” yang
pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor
2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59,
26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari
kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
[29]
Sebagaimana dikutip Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional…, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar